Milla menengadahkan wajahnya menatap langit yang sedang mendung.
Ia yakin sebentar lagi matahari akan benar-benar kehilangan cahayanya dan hujan
akan segera mendera bumi. Tapi anehnya, hal ini tidak begitu mengganggunya
seperti yang biasa terjadi. Perasaannya hampa dan sulit dijelaskan… Milla
bahkan tidak tahu apa yang mesti ia rasakan dan pikirkan di tengah-tengah
pemakaman ibunya siang hari ini.
“Mil,
ayo kita pulang…” ajak ayahnya perlahan, setengah berbisik.
“Aku
mau diam di sini sebentar boleh ya, Yah? Aku cuma ingin ngobrol sama ibu
sebelum pergi,” jawab Milla lirih.
“Baiklah…
Ayah tunggu di mobil ya, Sayang. Jangan terlalu lama, sebentar lagi hujan
turun,” ujar ayahnya sembil perlahan beranjak menjauh.
Sejenak
Milla menatap ayahnya yang berjalan dengan langkah berat, seakan-akan kakinya
sudah lama tak digerakkan dan sakit saat dipakai berjalan. Kasihan ayah, pikir
Milla. Selama ibunya sakit, ayah Milla memang yang paling sibuk mengurusinya
bolak-balik ke rumah sakit. Namun penyakit ibu tak kunjung sembuh, malah mereka
harus melepaskan ibu di pemakaman ini, hari ini, hari yang akan selalu
menghantui pikiran mereka sepanjang sisa hidupnya.
“Ibu…”
Milla berusaha mengawali obrolan dalam ruang imajinasinya yang berwana terang
dan seringan kapas.
“Ya,
Sayang, Ibu di sini... ada apa?” suara ibunya yang terdengar ceria seperti yang
selalu diingatnya memenuhi sudut-sudut hati Milla.
“Aku
tahu Ibu sudah tenang di rumah baru Ibu. Aku yakin, Ibu pantas mendapatkan
ketenangan seperti yang selama ini Ibu sering bilang. Aku tahu Ibu nggak suka
suasana berisik seperti yang selalu aku buat bareng teman-temanku saat mereka
datang ke rumah.”
“Hahaha…
siapa bilang Ibu nggak suka? Ibu hanya ingin ketenangan saat sedang membaca
atau berkebun saja, kok. Soal kamu dan teman-temanmu, Ibu sudah menganggapnya
kebiasaan yang sulit dihilangkan, bahkan selalu Ibu rindukan.”
“Sungguhan,
nih? Kalau aku dan kakak lagi berantem, Ibu rindu?”
Milla
seakan mendengar desahan geli ibunya dari jauh. Ibu selalu mendesah saat ada
pertanyaan ‘menjebak’ dari anak-anaknya seperti yang dilontarkan Milla barusan.
“Tentu
saja Ibu rindu, Sayang. Tapi sekarang sebaiknya kamu mengurangi keributan
dengan Kak Indra, kasihan Ayah,” suara mengalun Ibu terdengar lagi.
“Ibu…”
tangisan seakan mencekat tenggorokan Milla. Ia hampir sulit menarik napas.
“Milla,
Sayang… jangan menangis, ya. Sudah cukup tangisan yang Ibu dengar hari ini.
Kamu tahu apa yang bisa bikin Ibu tersenyum hari ini? Melihatmu begitu tegar
mendampingi Ayah dan kakakmu. Mereka sangat membutuhkan kekuatanmu sejak saat
ini.”
“Tapi
aku nggak sekuat itu, Ibu. Aku takut… Siapa yang akan membangunkan aku tiap
pagi, membuatkan sarapan, mengomeli aku kalau dapat nilai jelek, mendengarkan
curhatan-ku tentang sekolah, si Doni, dan teman-teman segengku? Bahkan siapa
yang akan membantuku membuat baju prom nanti, ibu? Siapa…” tetes mata pertama
Milla jatuh di pipinya tanpa sadar.
“Ssshhh…
dengarkan Ibu, Sayang. Dunia tak akan berhenti saat kamu kehilangan Ibu. Kamu
masih akan melakukan banyak hal di dunia ini, jadi astronom seperti yang kamu
cita-citakan, ketemu cowok cakep dan menikah dengannya, punya bayi lucu, cucu
Ibu. Wah… Ibu pasti akan sangat bangga padamu!”
“Tapi
itu masih lama sekali, Ibu. Dan sepanjang hidupku ini, aku nggak punya Ibu
untuk bersandar, berpegangan, bertanya, merajuk, dan minta perlindungan. Ibu,
aku benar-benar takut….” Lelehan air mata sudah membentuk sungai kecil di kedua
pipi Milla. Matanya kabur, Lalu tetesan hujan pertama pun jatuh di atas
kepalanya, dingin, menyejukkan, namun sekaligus membuatnya goyah.
“Ibu
tahu pasti ini berat untukmu, kakak, maupun Ayah. Tapi kalian akan baik-baik
saja, percaya pada Ibu. Tuhan tidak akan memanggil Ibu kalau tidak yakin kalian
mampu melaluinya. Pulanglah… peluk cium buat kakak, Ayah, dan tentunya juga
untukmu. Kasih Ibu akan selalu menerangi jalanmu di manapun kamu berada. Milla
anak kesayangan Ibu, dan akan tetap seperti itu sampai kapanpun.
Lalu
suara Ibu menghilang, digantikan suara guntur di kejauhan. Hujan sudah semakin
deras dan baju Milla pun mulai basah.
“Dah
Ibu, Milla sayaaang banget sama Ibu! Salam buat Tuhan dan para malaikat yang
menjaga Ibu, ya. Milla nggak akan pernah lupa berdoa buat Ibu’’
Suara
guntur makin menggelegar pertanda badai semakin dekat. Seolah diingatkan, Milla
segera berlari menuju mobil tepat saat Kak Indra tergesa turun membawakan
payung untuknya.
Di
dalam mobil yang bergerak perlahan, Milla menatap pemakaman untuk terakhir
kalinya. Ya, pikirnya, Ibu benar… aku tidak perlu takut karena Ibu akan selalu
ada di hati, menemaniku. Aku sayang padamu, Ibu.