Look at my mustache?
2 silent reader[s] | +FOLLOW | DASHBOARD.



<$BlogItemTitle$>
<$BlogDateHeaderDate$> | ><$BlogItemCommentCount$> comment(s)
<$blogitembody$>



>Older Post . >Newer Post

Wednesday, April 25, 2012

dahhh..ibuu


Milla menengadahkan wajahnya menatap langit yang sedang mendung. Ia yakin sebentar lagi matahari akan benar-benar kehilangan cahayanya dan hujan akan segera mendera bumi. Tapi anehnya, hal ini tidak begitu mengganggunya seperti yang biasa terjadi. Perasaannya hampa dan sulit dijelaskan… Milla bahkan tidak tahu apa yang mesti ia rasakan dan pikirkan di tengah-tengah pemakaman ibunya siang hari ini.

“Mil, ayo kita pulang…” ajak ayahnya perlahan, setengah berbisik.
“Aku mau diam di sini sebentar boleh ya, Yah? Aku cuma ingin ngobrol sama ibu sebelum pergi,” jawab Milla lirih.
“Baiklah… Ayah tunggu di mobil ya, Sayang. Jangan terlalu lama, sebentar lagi hujan turun,” ujar ayahnya sembil perlahan beranjak menjauh.

Sejenak Milla menatap ayahnya yang berjalan dengan langkah berat, seakan-akan kakinya sudah lama tak digerakkan dan sakit saat dipakai berjalan. Kasihan ayah, pikir Milla. Selama ibunya sakit, ayah Milla memang yang paling sibuk mengurusinya bolak-balik ke rumah sakit. Namun penyakit ibu tak kunjung sembuh, malah mereka harus melepaskan ibu di pemakaman ini, hari ini, hari yang akan selalu menghantui pikiran mereka sepanjang sisa hidupnya.

“Ibu…” Milla berusaha mengawali obrolan dalam ruang imajinasinya yang berwana terang dan seringan kapas.
“Ya, Sayang, Ibu di sini... ada apa?” suara ibunya yang terdengar ceria seperti yang selalu diingatnya memenuhi sudut-sudut hati Milla.
“Aku tahu Ibu sudah tenang di rumah baru Ibu. Aku yakin, Ibu pantas mendapatkan ketenangan seperti yang selama ini Ibu sering bilang. Aku tahu Ibu nggak suka suasana berisik seperti yang selalu aku buat bareng teman-temanku saat mereka datang ke rumah.”
“Hahaha… siapa bilang Ibu nggak suka? Ibu hanya ingin ketenangan saat sedang membaca atau berkebun saja, kok. Soal kamu dan teman-temanmu, Ibu sudah menganggapnya kebiasaan yang sulit dihilangkan, bahkan selalu Ibu rindukan.”
“Sungguhan, nih? Kalau aku dan kakak lagi berantem, Ibu rindu?”
Milla seakan mendengar desahan geli ibunya dari jauh. Ibu selalu mendesah saat ada pertanyaan ‘menjebak’ dari anak-anaknya seperti yang dilontarkan Milla barusan.
“Tentu saja Ibu rindu, Sayang. Tapi sekarang sebaiknya kamu mengurangi keributan dengan Kak Indra, kasihan Ayah,” suara mengalun Ibu terdengar lagi.
“Ibu…” tangisan seakan mencekat tenggorokan Milla. Ia hampir sulit menarik napas.
“Milla, Sayang… jangan menangis, ya. Sudah cukup tangisan yang Ibu dengar hari ini. Kamu tahu apa yang bisa bikin Ibu tersenyum hari ini? Melihatmu begitu tegar mendampingi Ayah dan kakakmu. Mereka sangat membutuhkan kekuatanmu sejak saat ini.”
“Tapi aku nggak sekuat itu, Ibu. Aku takut… Siapa yang akan membangunkan aku tiap pagi, membuatkan sarapan, mengomeli aku kalau dapat nilai jelek, mendengarkan curhatan-ku tentang sekolah, si Doni, dan teman-teman segengku? Bahkan siapa yang akan membantuku membuat baju prom nanti, ibu? Siapa…” tetes mata pertama Milla jatuh di pipinya tanpa sadar.
“Ssshhh… dengarkan Ibu, Sayang. Dunia tak akan berhenti saat kamu kehilangan Ibu. Kamu masih akan melakukan banyak hal di dunia ini, jadi astronom seperti yang kamu cita-citakan, ketemu cowok cakep dan menikah dengannya, punya bayi lucu, cucu Ibu. Wah… Ibu pasti akan sangat bangga padamu!”
“Tapi itu masih lama sekali, Ibu. Dan sepanjang hidupku ini, aku nggak punya Ibu untuk bersandar, berpegangan, bertanya, merajuk, dan minta perlindungan. Ibu, aku benar-benar takut….” Lelehan air mata sudah membentuk sungai kecil di kedua pipi Milla. Matanya kabur, Lalu tetesan hujan pertama pun jatuh di atas kepalanya, dingin, menyejukkan, namun sekaligus membuatnya goyah.
“Ibu tahu pasti ini berat untukmu, kakak, maupun Ayah. Tapi kalian akan baik-baik saja, percaya pada Ibu. Tuhan tidak akan memanggil Ibu kalau tidak yakin kalian mampu melaluinya. Pulanglah… peluk cium buat kakak, Ayah, dan tentunya juga untukmu. Kasih Ibu akan selalu menerangi jalanmu di manapun kamu berada. Milla anak kesayangan Ibu, dan akan tetap seperti itu sampai kapanpun.

Lalu suara Ibu menghilang, digantikan suara guntur di kejauhan. Hujan sudah semakin deras dan baju Milla pun mulai basah.

“Dah Ibu, Milla sayaaang banget sama Ibu! Salam buat Tuhan dan para malaikat yang menjaga Ibu, ya. Milla nggak akan pernah lupa berdoa buat Ibu’’
Suara guntur makin menggelegar pertanda badai semakin dekat. Seolah diingatkan, Milla segera berlari menuju mobil tepat saat Kak Indra tergesa turun membawakan payung untuknya.     
Di dalam mobil yang bergerak perlahan, Milla menatap pemakaman untuk terakhir kalinya. Ya, pikirnya, Ibu benar… aku tidak perlu takut karena Ibu akan selalu ada di hati, menemaniku. Aku sayang padamu, Ibu.